FILSAFAT ZAMAN KONTEMPORER
Kata
filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia, yang terdiri atas dua kata :
philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan sophia (hikmah,
kebijaksanaan, pengetahuan). Jadi secara etimologi, filsafat berarti cinta
kebijaksanaan atau kebenaran. Secara umum filsafat berarti upaya manusia untuk
memahami segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan kritis. Orang Yunani
senang akan kebijaksanaan yang selalu diarahkan kepada kepandaian secara teoretis
dan praktis. Kepandaian yang bersifat teoretis adalah upaya manusia mencari
pengetahuan yang penuh dengan gagasan dan ide yang tentunya sejalan dengan cara
pikir mereka. Kepandaian yang bersifat praktis adalah upaya mencari pengetahuan
yang diarahkan untuk menemukan kegunaan pengetahuan itu.
Berbicara mengenai ilmu maka tidak akan terlepas dari
filsafat. Semua ilmu, baik ilmu alam maupun ilmu sosial bertolak dari
pengembangannya sebagai filsafat. Perkembangan ilmu pengetahuan terbagi menjadi
beberapa periode sejarah yang setiap periodenya memiliki ciri khas
masing-masing. Periodisasi perkembangan ilmu pengetahuan dimulai dari peradaban
Yunani Kuno, Zaman Pertengahan, Zaman Renaissance, Zaman Modern, dan
Kontemporer, secara ringkas disusun sebagai berikut:
Yunani Kuno
Zaman Yunani Kuno
merupakan awal kebangkitan filsafat secara umum karena menjawab persoalan
disekitarnya dengan rasio dan meninggalkan kepercayaan terhadap mitologi atau
tahyul yang irrasional.
Zaman Pertengahan
Pada masa ini,
para ilmuwannya hampir semua adalah teolog, sehingga aktivitas ilmiah berkaitan
dengan aktivitas keagamaan. Semboyan yang berlaku bagi ilmu pada masa ini
adalah ancilla theologia atau abdi agama.
Zaman Renaissance
Renaissance
berarti lahir kembali (rebirth), yaitu dilahirkannya kembali sebagai manusia
yang bebas untuk berpikir. Zaman ini menjadi indikator bangkitnya kembali
independensi rasionalitas manusia, karena sudah tercatat banyaknya penemuan
spektakuler, seperti teori heliosentris oleh Copernicus, yang merupakan
pemikiran revolusioner, dan kemudian didukung oleh Johanes Kepler (1571 – 1630)
dan Galileo Galilei (1564 – 1642).
Zaman Modern
Dikenal juga
sebagai masa Rasionalisme, yang tumbuh di zaman modern dengan tokoh utama,
yaitu Rene Descartes (1596 – 1650) yang dikenal sebagai Bapak Filsafat Modern,
Spinoza (1633 – 1677), dan Leibniz (1646 – 1716). Descartes memperkenalkan
metode berpikir deduktif logis yang umumnya diterapkan untuk ilmu alam.
Kontemporer
Zaman Kontemporer dimulai
pada abad ke 20 hingga sekarang. Filsafat Barat kontemporer memiliki sifat yang
sangat heterogen. Hal ini disebabkan karena profesionalisme yang semakin besar.
Sebagian besar filsuf adalah spesialis di bidang khusus, seperti matematika,
fisika, sosiologi, dan ekonomi. Akan tetapi bidang fisika menempati kedudukan
paling tinggi dan paling banyak dibicarakan oleh para filsuf. Menurut Trout,
fisika dipandang sebagai dasar ilmu pengetahuan yang subjek materinya
mengandung unsur-unsur fundamental yang membentuk alam semesta.
Aliran-aliran terpenting yang berkembang dan berpengaruh pada abad 20
adalah pragmatisme, vitalisme, fenomenologi, eksistensialisme, filsafat
analitis, strukturalisme, postmodernisme, dan semiotika.
PRAGMATISME
Aliran ini sangat terkenal di
Amerika Serikat. Pragmatisme mengajarkan bahwa sesuatu hal yang benar adalah
sesuatu yang akibatnya bermanfaat secara praktis. Jadi, pragmatisme memakai
akibat-akibat praktis dari pikiran dan kepercayaan sebagai ukuran untuk menetapkan
nilai kebenaran. Kelompok ini bersikap kritis terhadap sistem-sistem filsafat
sebelumnya seperti bentuk – bentuk aliran materialisme, idealisme, dan
realisme. Mereka berpendapat bahwa filsafat pada masa lalu telah keliru karena
mencari hal – hal yang mutlak, yang ultimate.
Tokoh yang terpenting dalam aliran
ini adalah William James (1842-1910). Pragmatisme pertama kali diumumkan dalam
sebuah kuliah di Berkeley pada tahun 1898, berjudul “Philosophical Conceptions
and Practical Results”. Sumber-sumber lanjutan mengenai pragmatisme disampaikan
di Wellesley College pada tahun 1905, Lowell Institute, dan Columbia University
pada tahun 1906 dan 1907.
Pragmatisme yang muncul dalam
bukunya terbagi menjadi enam hal : temperamen filosofis, teori kebenaran, teori
makna, holistik tentang pengetahuan, pandangan metafisika, dan metode
penyelesaian sengketa filosofis.
James memandang pemikirannya
sebagai kelanjutan dari empirisme Inggris, namun empirismenya bukan merupakan
upaya untuk menyusun kenyataan berdasarkan atas fakta – fakta lepas sebagai
hasil pengamatan. Tetapi, kebenaran merupakan suatu proses, suatu ide dapat
menjadi benar apabila didukung oleh akibat – akibat atau hasil dari ide
tersebut. Oleh karena itu, kebenaran baru menjadi sesuatu yang real setelah melalui
verifikasi praktis.
VITALISME
Vitalisme berpandangan bahwa
kegiatan organisme hidup digerakkan oleh daya atau prinsip vital yang berbeda
dengan daya-daya fisik. Aliran ini timbul sebagai reaksi terhadap perkembangan
ilmu teknologi serta industrialisme, di mana segala sesuatu dapat dianalisa
secara matematis.
Henri Bergson
Tokoh terpenting dalam vitalisme
adalah Henri Bergson (1859-1941). Ia adalah salah satu filsuf yang paling
terkenal dan berpengaruh di Perancis pada akhir abad 19 – awal abad 20. Meskipun
ketenaran secara internasional cukup tinggi selama masa hidupnya, tetapi
setelah Perang Dunia kedua pengaruhnya mengalami penurunan. para pemikir
Perancis, seperti Merleau-Ponty, Sartre, dan Levinas secara eksplisit mengakui
pengaruhnya terhadap pemikiran mereka. Mereka pada umumnya sepakat bahwa Gilles
Deleuze (1966) Bergsonism, menandai kebangkitan secara luas serta meningkatnya
minat dalam karya Bergson. Deleuze menyadari bahwa kontribusi terbesar Bergson
bagi pemikiran filsafat adalah konsep keanekaragaman. Filsafat Bergson
merupakan dualistik: dunia mengandung dua kecenderungan yang berlawanan: gaya
hidup (Elan vital) dan perlawanan dari dunia materi terhadap gaya. Manusia
dapat mengetahui masalah dengan kepandaiannya. Mereka merumuskan doktrin ilmu
pengetahuan dan melihat hal-hal yang ditetapkan sebagai unit terpisah di dalam
ruang. Hal yang berlawanan dengan kepandaian adalah intuisi, yang berasal dari
naluri yang lebih rendah. Intuisi memberi kita isyarat dari gaya hidup yang
melingkupi semua hal. Intuisi merasakan realitas waktu: bahwa durasi diarahkan
dalam hal hidup dan tidak dapat dibagi atau diukur. Durasi ini ditunjukkan oleh
fenomena memori
FENOMENOLOGI
Fenomenologi berasal dari kata
phenomenon yang berarti gejala atau apa yang tampak. Jadi, fenomenologi adalah
ilmu yang mempelajari apa yang tampak atau apa yang menampakkan diri.
Fenomenologi dirintis oleh Edmund Husserl .
Edmund Husserl
Edmund Husserl (1859-1938) adalah
pendiri aliran fenomenologi yang telah mempengaruhi pemikiran filsafat abad 20
secara mendalam. Baginya, fenomena adalah realitas sendiri yang tampak, tidak
ada selubung atau tirai yang memisahkan subjek dengan realitas, realitas
sendiri yang tampak bagi subjek. Husserl mengatakan bahwa apa yang dapat kita
amati hanyalah fenomena bukan sumber dari gejala itu sendiri dan dari apa yang
kita amati, terdapat beberapa hal yang membuatnya tidak murni sehingga perlu
diakan reduksi. Langkah – langkah yang harus dilakukan adalah melakukan reduksi
fenomenologi dan reduksi eiditis.
Pada reduksi tingkat pertama, ada tiga hal yang perlu
dilakukan :
Membebaskan diri
dari unsur subjektif
Membebaskan diri
dari kungkungan teori-teori, dan hipotesis-hipotesis
Membebaskan diri
dari doktrin-doktrin tradisional
Setelah mengalami reduksi
fenomenologi, fenomena yang kita amati telah menjdai fenomena yang murni. Akan
tetapi, belum mencapai hal yang mendasar atau makna yang sebenarnya. Oleh
karena itu, dilakukanlah reduksi kedua, yaitu reduksi eiditis. Melalui reduksi
kedua, fenomena yang kita amati mampu mencapai inti atau esensinya. Pandangan
Husserl mengenai fenomena ini, ia telah mengadakan semacam revolusi dalam
filsafat barat. Sejak masa Descrates, kesadaran selalu.
diartikan sebagai kesadaran yang
tertutup, artinya kesadaran mengenal diri sendiri merupakan satu – satunya
jalan untuk mengenal realitas. Namun, Husserl berpendapat bahwa kesadaran
terarah kepada realitas, sama artinya dengan realitas menampakan diri sendiri.
EKSISTENSIALISME
Eksistensialisme adalah aliran
filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal kepada eksistensi.
Sebenarnya, istilah eksistensialisme tidak menunjukan suatu sistem filsafat
secara khusus. Eksistensi adalah cara berada di dunia. Benda mati dan hewan
tidak menyadari keberadaannya di dunia ini. Akan tetapi manusia sadar hal
tersebut. Itulah sebabnya, segala sesuatu mempunyai arti sejauh masih berkaitan
dengan manusia. Dengan kata lain, manusia memberikan arti kepada segala hal.
Ada beberapa hal yang dapat mengidentifikasikan ciri dari
aliran eksistensialisme ini :
Eksistensialisme
adalah pemberontakan dan protes terhadap rasionalisme dan masyarakat modern,
khususnya terhadap idealisme Hegel.
Eksistensialisme
adalah suatu proses atas nama individualis terhadap konsep-konsep, filsafat
akademis yang jauh dari kehidupan konkrit.
Eksistensialisme
juga merupakan pemberontakan terhadap alam yang impersonal (tanpa kepribadian)
dari zaman industri modern dan teknologi, serta gerakan massa.
Eksistensialisme
merupakan protes terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan fasis,
komunis, yang cenderung menghancurkan atau menenggelamkan perorangan di dalam
kolektif atau massa.
Eksistensialisme
menekankan situasi manusia dan prospek (harapan) manusia di dunia.
Eksistensialisme
menekankan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi, pengalaman kesadaran yang
dalam dan langsung.
Filsafat ini bertitik tolak kepada
manusia konkret, manusia yang bereksistensi. Dalam kaitan dengan ini mereka
berepndapat bahwa pada manusia, eksistensi mendahului esensi.
Tokoh yang penting dalam filsafat eksistensialisme adalah
Martin Heidegger dan Jean-Paul Sartre.
Martin Heidegger
Martin Heidegger adalah salah satu
filsuf yang paling asli dan penting pada abad ke-20, tetapi ia juga yang paling
kontroversial. Pemikirannya telah memberikan sumbangan untuk beberapa bidang
yang berbeda, seperti fenomenologi (Merleau-Ponty), eksistensialisme (Sartre,
Ortega y Gasset), hermeneutika (Gadamer, Ricoeur), teori politik (Arendt,
Marcuse), psikologi (Bos, Binswanger, Rollo May), teologi (Bultmann, Rahner,
Tillich), dan postmodernisme (Derrida). Perhatian utama dari seorang Heidegger
adalah ontologi. Dalam karyanya, “Being dan Time”, ia mencoba untuk mengakses
being (Sein) dengan melalui analisis fenomenologis tentang eksistensi manusia
(Dasein) yang berkenaan ke karakter duniawi dan sejarah manusia. Dalam
karya-karyanya berikutnya, Heidegger menekankan.
nihilisme masyarakat teknologi
modern, dan berusaha untuk memenangkan tradisi filsafat Barat kembali ke
pertanyaan yang ada. Ia meletakkan penekanan pada bahasa sebagai jalan untuk
membuka pertanyaan tersebut. Tulisannya yang sangat sulit. Namun, Being and
Time tetap masih yang paling berpengaruh.
John Paul Sartre
John-Paul Sartre adalah seorang
atheis dan satu – satunya filsuf kontemporer yang menempatkan kebebasan pada
titik yang sangat ekstrim. Ia berpendapat bahwa manusia itu bebas atau sama
sekali tidak bebas. Tentang kebebasan, Sartre mengatakan,”Manusia bebas. Manusia
adalah kebebasan.” Ia berpendapat bahwa kebabasan bukan merupakan cirri tetapi
manusia itu sendiri.
Konsep kebebasan ini membawa Sartre
kepada penolakan akan Allah. Kalau ada Allah, maka Allah sudah mengetahui
esensi dari manusia, manusia tidak lagi bebas. Manusia akan melakukan apa yang
sudah ditentukan oleh Allah. Tetapi, hal tersebut tidak mungking karena pada
manusia, eksistensi mendahului esensi. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa
tidak ada Allah.
Dalam bukunya yang berjudul,
“Existentialism and humanism”, Sartre memberikan tanggapan kepada orang – orang
yang mengatakan eksistensialisme adalah
atheism bahwa eksistensialisme sama sekali bukan atheisme yang menolak adanya
Allah. Namun, seandainya Allah ada, hal itu sama sekali tidak mengubah apa –
apa.
FILSAFAT ANALITIS
Filsafat analitis atau filsafat
bahasa merupakan reaksi terhadap idealisme, khususnya Neohegelianisme. Para
penganutnya menyibukkan diri dengan menganalisa bahasa dan konsep-konsep.
Aliran ini muncul di Inggris dan Amerika Serikat sekitar tahun 1950. T okoh
penting dalam filsafat ini adalah Bertrand Russell, Ludwig Wittgenstein
(1889-1951), Gilbert Ryle, dan John Langshaw Austin.
STRUKTURALISME
Strukturialisme muncul di Prancis
pada tahun 1960, dan dikenal pula dalam linguistik, psikiatri, dan sosiologi.
Strukturalisme pada dasarnya menegaskan bahwa masyarakat dan kebudayaan
memiliki struktur yang sama dan tetap. Berbeda dengan filsafat eksistensialisme
yang menekankan pada peranan individu, strukturialisme memandang manusia
“terkungkung” dengan berbagai struktur di sekelilingnya. Maka kaum strukturalis
menyibukkan diri dengan struktur – struktur tersebut.
Secara garis besar ada dua
pengertian pokok yang sangat erat kaitannya dengan strukturalisme sebagai
aliran filsafat.
Strukturalisme
adalah metode atau metodologi yang digunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu
kemanusiaan dengan bertitik tolak dari prinsip-prinsip linguistik.
Strukturalisme merupakan aliran
filsafat yang hendak memahami masalah yang muncul dalam sejarah filsafat. Di
sini metodologi struktural dipakai untuk membahas tentang manusia, sejarah,
kebudayan dan alam, yaitu dengan membuka secara sistematik struktur-struktur
kekerabatan dan struktur-struktur yang lebih luas dalam kesusasteraan dan dalam
pola-pola psikologik tak sadar yang menggerakkan tindakan manusia.
Tokoh – tokoh yang memiliki peranan
penting dalam filsafat strukturialisme adalah Levi Strauss, Jacques Lacan, dan
Michel Foucault.
Claude Levi
Strauss
Dalam karya klasik tentang kaitan
antara kekerabatan dan pertukaran, “The Elementary Structures of Kinship”,
tahun 1949, memperkenalkan dua aspek penting antropologi Levi Strauss. Yang
pertama adalah prinsip yang mengatakan bahwa kehidupan social dan cultural
tidak bias dijelaskan secara unik oleh satu versi fungsionalisme. Aspek penting
lain dalam pendekatan Strauss adalah lingkup. Bila banyak peneliti social
membatasi penafsiran tentang kehidupan sosial pada masyarakat tententu yang
mereka teliti, Levi Strauss menggunakan pendekatan universalis. Ia berpendapat
bahwa setiap masyarakat atau kultur menampilkan ciri – ciri yang juga banyak
terdapat pada kultur lain karena ini yakin bahwa yang membentuk manusia adalah
dimensi kultural, bukan alam. Struktur simbolik kekerabatan, bahasa, dan
pertukaran barang menjadi kunci mengenai pemahaman kehidupan sosial, bukan
biologi.
Bagi Strauss, “struktur” itu tidak
identik dengan struktur empiris suatu masyarakat tertentu, struktur itu tidak
ada dalam realitas yang tampak. Dari ini, terdapat kemenduaan Strauss antara
jenis strukturalisme yang melihat struktur sebagai suatu model abstrak yang
dihasilkan dari analisis terhadap suatu fenomena dengan pengertian struktur
sebagai yang bersifat terner, yaitu yang secara inheren mengandung sifat
dinamis.
Jacques Lacan
Lacan membaca ulang karya Freud
untuk meninjau ulang teori tentang
subjektivitas dasn seksualitas dan menghidupkan kembali sekumpulan konsep.
Kemudian Lacan mengemukakan pandangannya bahwa yang paling mneghambat pengetahuan
tentang cirri revolusioner dan subversif karya – karya Freud adalah pandangan
bahwa ego merupakan hal yang terpenting untuk memahami perilaku manusia.
Dengan penekanan strukturalis pada
bahasa sebagai suatu sistem perbedaan tanpa pengertian positif, Lacan
menonjolkan pentingnya bahasa dalam karya Freud. Bahasa juga memegang peranan
penting dalam suatu wawancara psikoanalitis. Akan tetapi, bahasa bukan hanya
pembawa informasi dan pikiran; bukan hanya medium komunikasi. Lacan berpendapat
bahwa faktor yang membuat komunikasi cacat itu juga penting. Kesalahpahaman,
kekacauan, resonansi, dan berbagai macam kekacauan inilah yang memungkinkan
Lacan mengungkapkan aforismenya yang terkenal : “Kesadaran itu terstruktur
seperti bahasa.” Oleh karena itu, ketidaksadaran inilah mengganggu komunikasi, bukan
secara kebetulan melainkan mengikuti suatu keteraturan structural.
Michel Foucault
Dalam resume pertamanya yang
berjudul, “ The Will to Truth” yang membahas praktek – praktek diskurtif, ia
mengatakan :
Kelompok – kelompok yang teratur
sekarang tidak berkesesuaian dengan karya-karya individu. Meskipun muncul dan
untuk pertama kali menjadi jelas dalam salah satu dari mereka, ini berkembang
cukup luas di luar mereka dan sering menyatukan beberapa kelompok. Akan tetapi,
mereka tidak selalu bersesuaian dengan yang biasa kita sebut ilmu atau disiplin
meskipun untuk sementara memiliki perbatasan yang sama (Foucault, 1970-1982:
10).
Penjelasan ini menggambarkan ciri
inovatif dan individualis dari karyanya. Oleh sebab itu, ia mengarahkan bahwa
kita tidak dapat mereduksi praktek – praktek deskursif menjadi disiplin
akademik. Akan tetapi, praktek diskurtif adalah sebuah keteraturan yang muncul
dalam fakta artikulasi itu sendiri. Keteraturan suatu diskursus itu bersifat
tidak sadar.
SEMIOTIKA
Semiotika adalah teori tentang
tanda dan penandaan. Seorang ahli semiotika seperti Barthes dalam awal
pemikirannya melihat kehidupan sosial dan kultural dalam kerangka penandaan.
Melalui pendekatan semiotika yang didasarkan atas kerangka linguistik
Saussurean, kehidupan sosial menjadi pertarungan demi prestige dan status; atau
bisa juga ia menjadi tanda pertarungan ini. Semiotika juga mempelajari
bagaimana tanda melakukan penandaan.
Roland Barthes
Barthes adalah seorang ahli
semiotika, seorang yang melihat bahasa sebagai yang dimodelkan oleh teori
Saussure tentang tanda yang melandasi pemahaman structural kehidupan sosial dan
kultur. Karya – karya Barthes sangat beragam, berkisar dari teori semiotika,
esai kritik sastra, telaah psikobiografis serta karya–karya yang lebih bersidat
pribadi. Gaya bahasa personifikasi menjadi ciri khas dalam karyanya lebih
lanjut.
Ferdinand de Saussure
Saussurre adalah seorang bapak
strukturalisme dan linguistik. Hal pokok pada teorinya adalah prinsip yang
mengatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem tanda, dan setiap tanda itu
tersusun dari dua bagian: penanda dan yang ditanda. Konsepnya mengenai tanda
menunjuk ke otonomi relatif bahasa dalam kaitannya dengan realitas. Bahkan,
secara lebih mendasar Saussure mengungkapkan suatu hal yang bagi kebanyakan
orang modern menjadi prinsip yang paling berpengaruh terhadap teori
linguistiknya : hubungan penanda dengan yang ditanda adalah sembarang dana
berubah – ubah. Berdasarkan prinsip tersebut, bahasa tidak lagi dianggap muncul
dalam etimologi dan filologi, tetapi bias ditangkap dengan sangat baik melalui
cara bagaimana bahasa tersebut mengutarakan perubahan.
POSTMODERNISME
Postmodernisme, sangat popular pada
penghujung abad ke-20 dan merambah ke berbagai bidang dan disiplin filsafat dan
ilmu pengetahuan. Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap modernisme dengan
segala dampaknya. Modernisme dimulai
oleh Rene Descrates, dikokohkan oleh zaman pencerahan (Aufklaerung), dan
kemudian mengabdikan diri melalui dominasi sains dan kapitalisme. Dalam
modernisme, filsafat berpusat pada epistemologi yang bersandar pada gagasan
tentang subjektivitas dan objektivitas murni yang saling terpisah. Modernisme
mempunyai gambaran dunia sendiri yang ternyata membawa berbagai dampak buruk,
yakni objektifikasi alam secara berlebihan dan pengurasan semena – mena yang
berakibat kepada krisis ekologi, militerisme, kebangkitan kembali tribalisme,
dan manusia cenderung menjadi objek karena pandangan modern yang objektivistis
dan positivistis.
Postmodernisme
berupaya untuk mempertanyakan suatu epistemologi modernis yang didasarkan atas
pembedaan subjek dan objek secara jelas. Selain itu, hal lain terkait dengan
postmodernisme adalah adanya ketidakpercayaan kepada metanarasi (Lyotard) –
yang berarti tidak adanya penjelasan global tentang perilaku yang bisa
dipercaya dalam zaman rasionalitas yang bermuatan tujuan. Selain itu teknologi
dilihat sebagai yang menuju ke penitikberatan pada reproduksi. Ciri terpenting dalam
postmodernisme adalah relativisme dan mengakui pluralitas. Menurut para
postmodernis, tidak ada suatu norma yang berlaku umum. Setiap bagian memiliki
keunikan tersendiri sehingga tidak dapat menerima pemaksaan penyeragaman.
Tokoh yang dianggap memperkenalkan
postmodernisme adalah Francois Lyotard, lewat bukunya, “The Postmodern
Condition: A Report on Knowledge.” Di sini pengertian masyarakat sebagai suatu
bentuk kesatuan sudah hilang kredibilitasnya. Masyarakat sebagai kesatuan sudah
tidak biasa dipercaya delam kaitannya dengan “ketidakyakinan terhadap
metanarasi”. Metanarasi semacam itu memberikan suatu
Francois Lyotard
teleologi yang memberikan
pengesahan baik kepada ikatan sosial maupun peranan ilmu dan pengetahuan yang
terkait kepadanya. Dalam tataran yang lebih teknik, suatu ilmu dianggap modern
apabila ia berusaha memberikan pengesahan kepada aturan – aturannya sendiri
kepada suatu metanarasi, sebuah narasi yang berada di luar lingkungan
kompetensinya. Postmodernisme memperlihatkan dua buah sasaran, metanarasi yang
cukup berpengaruh dan gagasan yang mengatakan bahwa pengetahuan itu dipandang
sebagai subjek manusia yang berupaya menemukan kebebasan, mulai bersaing, dan
lebih jauh lagi, tidak ada bukti dasar yang dapat digunakan untuk menyelesaikan
perdebatan ini. Dalam zaman komputer, kerumitan pun semakin
meningkat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar